Sudut Ibu Pertiwi, Sebuah Cerpen Karya Fatya Hanani

Sudut Ibu Pertiwi
(Oleh: Fatya Hanani)

Sang surya mengintip dari balik bukit dengan malu-malu. Suara kicauan burung menggelitik pendengaran Venus. Sesekali Venus mengusap lengannya akibat terpaan angin pagi yang menusuk tulang.
Venus Mahuse, seorang siswa SMP yang tinggal di desa area pertambangan di sudut ibu pertiwi. Semua orang tahu bagaimana susahnya tinggal di area pertambangan. Bagaimana khawatirnya jika bencana alam tiba-tiba melanda. Bagaimana susahnya ketika air yang berguna untuk sumber kehidupan tiba-tiba tercemar bahan tambang. Bagaimana lelahnya ketika harus berjalan melewati hutan hanya karena menghindari jalur pertambangan yang berlubang dan membahayakan. Namun tidak ada orang sukses yang tidak melewati tantangan, kata Venus.
Venus menghela nafas panjang lalu mengusap peluhnya dengan tangan. Ia menatap bangunan di depannya lalu tersenyum lebar. Kata syukur keluar dari mulutnya. Mungkin ini saatnya menunjukan kepada semesta akan adanya seorang remaja yang tak pernah bercanda akan kesuksesannya. Ia memandang baju seragamnya yang mungkin akan kalah bagus dengan peserta Olimpiade yang kebanyakan dari kota besar.
Seorang guru dari sekolahnya menyambut dengan raut bahagia. “ Sudah siap, Ven?” Tanya guru tersebut. Venus hanya mengangguk.
‘’Ingat, jangan jadi seperti bola yang menggelinding tak tau arah, tapi jadilah seperti roda yang selalu berputar dengan teratur. Tahu dimana ia berada di bawah, lalu bangkit hingga mencapai puncak. Jangan berkecil hati jika tahun lalu kamu kalah. Bangkit!” Ucap Pak Nurdin.
Sejurus kemudian, panitia memanggil para peserta lomba Olimpiade IPA. Babak penyisihan dilewati Venus dengan baik. Dan konsekuensi dari lolos babak penyisihan adalah babak final. Apalagi sekarang ia berhadapan dengan Rinjani Adijaya, anak dari pemilik perusahaan tambang di desanya. Sudah pasti berasal dari sekolah modern.
Di babak final ini, Venus memperoleh poin yang sama dengan Rinjani. Satu soal sebagai penentuan. Keduanya mengerjakan soal dengan serius. Sejurus kemudian, Venus menyelesaikannnya. Namun, suara bel terdengar dari meja Rinjani. Perempuan itu tampak mendahului Venus yang akan menjawab soal.
“Semoga ini bukan akhir yang buruk.” Doa Venus dengan jantung yang berdetak lebih kencang.
Jawaban Rinjani ternyata salah. Ini kesempatan besar bagi Venus. Semua penonton termasuk Pak Nurdin bertepuk tangan gemuruh ketika lomba akhirnya memenangkan lomba. Venus bernafas lega lalu merenggangkan otot tangannya.
Venus dan Rinjani keluar ruangan bersamaan. Rinjani sengaja menabrakkan lengannya dengan lengan Venus.
“Kenapa?”
“Kamu nanya? Kamu nggak sadar kalau kamu bikin malu aku di lomba ini? Dasar anak desa!” Cibir Rinjani.
“Bukannya semua peserta datang juga mau menangin lomba? Bukan Cuma kamu.”
Seorang datang tergopoh-gopoh menginterupsi pertegkaran mereka. “Maaf non, non Rinjani harus pulang. Bapak meninggal.” Ucap yang sepertinya supir Rinjani. Rinjani terpaku di tempat. Seketika air matanya meluncur di pipinya.
Satu minggu setelah itu, Rinjani datang meminta maaf kepada Venus. Setelah ayahnya meninggal, ia sebatang kara di kota ini. Tak ada uang ataupun keluarga. Lambat laun, hati Rinjani melunak. Sekarang ia berteman dengan Venus. Bahkan, Rinjani juga tinggal serumah dengan Venus. Seseorang yang dulu ia maki-maki sekarang justru ia yang menolongnya.
Venus dan Rinjani sering berkeliling desa bersama untuk menjual makanan buatan Ibu Venus. Tawa selalu mengiringi langkah mereka. Menikmati setiap detik keindahan yang allah ciptakan untuk manusia di dunia. Dengan alam dan kesederhanaan yang ada di Nusa Tenggara. Sebuah sudut pertiwi yang mengesankan untuk Venus Mahuse.





Categories:
Similar Collection