Papan nama Jalan Kuseri di Purbalingga Wetan |
Jalan Kuseri berada di Kelurahan Purbalingga Wetan. Jalan ini tepat berada di depan SD Negeri 1 Purbalingga Lor. Nama Kuseri diambil dari tokoh pahlawan Purbalingga yang juga berasal dari kelurahan tersebut. Kuseri memiliki nama lengkap Kuseri Yudosubroto,
merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Basori Yudosubroto
dan adiknya Sumeri. Kuseri lahir di Purbalingga dan mendapat pendidikan dasar.
Pada saat pendudukan Jepang, Kuseri mendaftar
sebagai tentara. Pendidikan militernya didapatkan di Kasikang Gakko di Resisentei
Cimahi, Jawa Barat antara Maret - Agustus
1943. Kasikang Gakko adalah
pusat pendidikan dan pelatihan bintara Heiho. Pelatihan yang awalnya bukan
diperuntukkan bagi PETA kemudian beralih menjadi pelatihan calon tentara PETA
atau gyugun dalam sebutan bahasa
Jepang. Peralihan dari pasukan Heiho menjadi PETA tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk PETA. Kuseri dinyatakan selesai
mengikuti pendidikan dan pelatihan dan untuk selanjutnya dikembalikan ke Banyumas
dan secara resmi masuk menjadi PETA.
Karir militer Kuseri diawali dengan menjadi Budancho (bintara komandan regu) tentara
PETA. Beliau tergabung dalam Dai-1-Chudan
dari Dai-1-Daidan PETA yang bermarkas
di Gumilir, Cilacap. Menurut Putrawiratha (2001:147) Dai-1-Chudan yang bermarkarkas di Gumilir kemudian lebih dikelan
sebagai Chudan Gumilir. Chudan tersebeut dipimpin oleh Chudoncho Tulus Subroto. Adapun pasukan
induk Kuseri tergabung dalam Dai-1-Daidan yang bermarkas di Cilacap. Kuseri dikenal sebagai pribadi
dan komandan yang keras, jujur, religius, dan tidak mau merepotkan orang lain.
Perlawanan Budancho Kuseri berawal di Gumilir,
Cilacap, Jawa Tengah. Gumilir adalah sebuah desa di Cilacap. Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap, yang
dipimpin Budancho Kuseri merupakan salah
satu “rangkaian” perlawanan PETA dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Perlawanan Budancho Kuseri
dilatarbelakangi dengan tindakan Jepang yang kejam terhadap rakyat Indonesia
dan pengaruh perlawanan PETA dari daerah lain seperti Blitar yang dipimpin Daidancho Supriyadi.
Budancho Kuseri satu pendidikan
saat berada Kasikang Gakko di Cimahi
dengan Syodancho Yasir Hadibroto dan pernah bersama Daidancho Supriyadi
saat melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
Kekejaman Jepang yang terhadap rakyat pada masa
itu diantaranya banyak warga desa yang dijadikan romusha dan tidak kembali lagi. Romusha
adalah para pekerja paksa, namun oleh Jepang dinyatakan sebagai tentara
pekerja. Selain daripada itu bahan makanan dan bahan pakaian banyak yang harus
diserahkan kepada Jepang sehingga kelaparan dan wabah penyakit merajalela,
bahkan ada juga prajurit PETA yang terkena busung lapar. Eksploitasi juga terjadi kepada para wanita yang
dijadikan jugun ianfu. Para jugun ianfu di Cilacap dipusatkan di
belakang kantor Kempetai Cilacap. . Kenyataan tersebut sangat mengganggu Budancho Kuseri yang kadang mengawal Shidokang. Shidokang adalah tentara asli Jepang yang mengawasi tentara PETA. Selain itu keyakinan akan perlawanan yang berhasil juga
didorong oleh banyak berita yang berhasil disadap dari radio Amerika dan
Australia.
Jalan masuk ke Jalan Kuseri |
Budancho Kuseri yang hanya
merupakan komandan regu ternyata mampu mengkoordinasikan dua chudan di Cilacap untuk melakukan
perlawanan. Lebih jauh, Budancho
Kuseri juga meminta bantuan Syodancho
Yasir untuk menyiapkan meriam yang bisa ditembakkan ke arah kota Cilacap.
Tanggal
21 April 1945 pukul 22.00 perlawanan dimulai. Prajurit PETA yang bergabung
dengan Budancho Kuseri berjumlah 215
tentara. Budancho Kuseri dibantu oleh
Suwab, Wasirun, Hadi, Mardiyono, Saryono, Udi, Wiryo Seoharto, Taswan Djumiran,
dan Suhud dalam mengkoordinasikan pasukan perlawanan. Pasukan yang dipimpin
Budancho Kuseri ternyata juga didukung oleh tentara PETA dari daidan lain meskipun daidan-daidan PETA di Banyumas tidak
berada dalam satu garis komando koordinasi melainkan berdiri sendiri-sendiri.
Selain didukung oleh tentara PETA,
Budancho kuseri juga dibantu oleh ulama diantaranya Kyai Bugel, Kyai Juhdi
dari Rawalo, dan Kyai Muhamad Sidiq dari Banjarnegara.
Perlawanan yang dilakukan oleh Budancho Kuseri berlangsung dari 21-29
April 1945. Jepang memadamkan perlawanan
dengan menggunakan tank dan terus mendesak pasukan PETA pimpinan Budancho Kuseri, perlawanan yang diawali
di Desa Selarang kemudian mundur ke Desa Kedondong dan masuk hutan Jati karena
didesak terus oleh Jepang. Perlawanan memang dapat dipatahkan
namun Budancho Kuseri dapat
meloloskan diri dan bertahan di desa Adipala.
Perlawanan PETA pimpinan Budancho Kuseri di Gumilir, Cilacap, membawa dampak yang cukup
berarti bagi keberadaan PETA dan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Pemadaman perlawanan PETA
pimpinan Budancho Kuseri tidak
sepenuhnya dilakukan dengan jalan militer, namun juga diplomasi yang melibatkan
Kyai Bugel dan daidancho Sudirman,
dengan kesepakatan antara Sudirman dan petinggi militer Jepang agar tidak ada
vonis mati bagi pelaku perlawanan. Akhirnya Budancho
Kuseri menyerahkan diri dan dipenjarakan di Jakarta. Kesepakatan ini sangat
berbeda dari hukuman yang dijatuhkan kepada perlawanan PETA di Blitar. Hal ini menunjukkan kemampuan diplomasi tentara PETA baik oleh Pak Sudirman yang saat itu masih daidancho dan Kyai Bugel.
Keterlibatan golongan ulama semakin
memperkuat hubungan tentara PETA dengan rakyat yang terwakili dalam ulama.
Dukungan ulama sebagai sangat baik. Tentara PETA juga menjadikan ulama sebagai
konsultan spiritual dalam melakukan perlawanan. Perlawanan
PETA pimpinan Budancho Kuseri
kemudian menjadikan Jepang dalam mengambil kebijakan di Banyumas cukup
berhati-hati.
Kuseri dengan seragam militer |